Diplomasi Fatimiyah Guncang Dunia di Abad ke-10 M
Pada abad ke-10 Masehi, Kekhalifahan Fatimiyah tampil sebagai kekuatan baru yang bukan hanya mengandalkan senjata, tetapi juga kecanggihan diplomasi. Berbasis di Mahdia, Ifriqiya (Tunisia modern), Fatimiyah secara aktif membangun jaringan hubungan lintas kawasan yang membuat Bizantium dan kekuatan Eropa Timur waspada.
Fatimiyah berdiri pada 909 M sebagai kekhalifahan Ismailiyah yang menantang legitimasi Abbasiyah. Dalam kondisi belum menguasai pusat dunia Islam seperti Mesir dan Hijaz, diplomasi menjadi alat utama untuk memperluas pengaruh tanpa harus terjebak perang besar yang menguras sumber daya.
Salah satu contoh paling menonjol dari peran diplomasi Fatimiyah terjadi pada tahun 922 M, ketika mereka membuka komunikasi politik dengan Bulgaria di bawah Tsar Symeon I. Bulgaria saat itu merupakan musuh utama Kekaisaran Bizantium dan memiliki ambisi merebut Konstantinopel.
Bagi Bulgaria, Fatimiyah adalah mitra strategis yang ideal karena memiliki armada laut yang kuat di Mediterania tengah. Sementara itu, bagi Fatimiyah, Bulgaria menawarkan tekanan darat terhadap Bizantium, membuka peluang serangan dua arah yang berpotensi mengguncang keseimbangan kekuatan regional.
Kontak diplomatik tersebut dilakukan secara formal dengan pengiriman utusan. Tsar Symeon I mengirim delegasi ke Mahdia untuk bernegosiasi langsung dengan Khalifah Ubayd Allah al-Mahdi Billah. Ini menunjukkan bahwa Fatimiyah telah diakui sebagai aktor internasional penting, bahkan oleh kerajaan Kristen non-Latin.
Khalifah Fatimiyah menyambut langkah itu dengan sikap terbuka. Ia menyetujui pengiriman utusan balasan ke Bulgaria sebagai bagian dari pembicaraan aliansi. Sikap ini mencerminkan diplomasi Fatimiyah yang pragmatis, tidak terikat oleh batas agama dalam urusan geopolitik.
Namun, rencana tersebut tidak pernah mencapai tahap final. Kapal yang membawa utusan Bulgaria dan Fatimiyah dicegat armada Bizantium di dekat Calabria, Italia selatan. Intersepsi ini secara efektif menggagalkan proses aliansi sebelum sempat diumumkan secara resmi.
Meski gagal, peristiwa ini justru menegaskan betapa seriusnya Bizantium memandang diplomasi Fatimiyah. Bagi Konstantinopel, kemungkinan koalisi antara kekuatan darat Bulgaria dan kekuatan laut Fatimiyah merupakan ancaman eksistensial yang harus dicegah dengan segala cara.
Peran diplomasi Fatimiyah dalam peristiwa ini menunjukkan bahwa kekhalifahan tersebut memahami pentingnya laut sebagai ruang politik. Mediterania tidak hanya dipandang sebagai jalur dagang, tetapi sebagai panggung utama pertarungan pengaruh global abad pertengahan.
Berbeda dengan Abbasiyah yang cenderung berfokus ke daratan Timur, Fatimiyah membangun identitas sebagai kekuatan maritim. Diplomasi mereka berjalan seiring dengan ekspedisi laut, pembentukan pelabuhan, dan pengamanan jalur pelayaran strategis.
Menariknya, sumber-sumber Arab hampir tidak menyoroti peristiwa diplomatik ini secara rinci. Hal ini menunjukkan bahwa bagi kronikus Muslim saat itu, aliansi dengan Bulgaria belum dianggap sebagai peristiwa ideologis besar, melainkan manuver politik sementara.
Sebaliknya, sumber Bizantium mencatatnya dengan detail karena menyentuh langsung jantung kekaisaran. Perbedaan ini menegaskan bahwa diplomasi Fatimiyah sering kali bekerja di wilayah abu-abu sejarah, efektif tetapi tidak selalu tercatat panjang lebar.
Pada level yang lebih luas, diplomasi Fatimiyah abad ke-10 menandai pergeseran pola hubungan internasional. Dunia Islam dan Kristen tidak selalu berada dalam garis konflik langsung, tetapi juga dalam negosiasi, transaksi, dan kalkulasi strategis.
Fatimiyah memanfaatkan posisi geografis Ifriqiya untuk menjembatani Afrika Utara, Eropa Selatan, dan Timur Tengah. Diplomasi menjadi instrumen untuk mengimbangi keterbatasan teritorial mereka sebelum penaklukan Mesir pada 969 M.
Keberhasilan terbesar diplomasi Fatimiyah justru terlihat setelah periode ini. Pengalaman bernegosiasi dengan kekuatan besar seperti Bulgaria dan Bizantium mematangkan strategi mereka dalam menghadapi dunia internasional yang kompleks.
Ketika akhirnya menguasai Mesir, Fatimiyah telah memiliki tradisi diplomatik yang mapan. Mereka mampu mengelola hubungan dengan Bizantium, negara-negara Italia, dan bahkan kekuatan Muslim lain secara simultan.
Peran diplomasi ini juga memperkuat legitimasi internal Fatimiyah sebagai kekhalifahan yang setara dengan dinasti besar lainnya. Hubungan luar negeri menjadi sarana menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar gerakan sektarian, melainkan negara berdaulat.
Dalam konteks abad ke-10, diplomasi Fatimiyah merupakan bentuk kekuatan lunak yang melengkapi armada dan militernya. Tanpa diplomasi, Fatimiyah mungkin tidak akan bertahan cukup lama untuk mencapai puncak kejayaannya.
Peristiwa 922 M menjadi bukti bahwa meski tidak selalu berhasil, langkah diplomatik Fatimiyah mampu mengguncang perhitungan geopolitik kawasan. Satu rencana aliansi saja sudah cukup membuat Bizantium bergerak cepat.
Hingga kini, diplomasi Fatimiyah abad ke-10 dipandang sebagai contoh awal politik maritim lintas agama yang modern untuk zamannya. Ia menunjukkan bahwa kekuasaan tidak selalu ditentukan oleh perang, tetapi oleh kecerdikan membaca peta kekuatan dunia.
Dengan demikian, Fatimiyah tidak hanya tercatat sebagai dinasti Syiah yang kontroversial, tetapi juga sebagai pelopor diplomasi strategis di Mediterania abad pertengahan, yang pengaruhnya terasa jauh melampaui batas wilayah kekuasaannya sendiri.
Fatimiyah di Nusantara
Temuan arkeologis di perairan Cirebon turut memperluas pemahaman tentang jangkauan diplomasi dan perdagangan Fatimiyah hingga ke Asia Tenggara. Sebuah kapal dagang abad ke-10 yang ditemukan karam di Laut Jawa sering dikaitkan dengan jaringan perdagangan Samudra Hindia yang aktif pada masa kekuasaan Fatimiyah.
Kapal tersebut ditemukan membawa muatan ribuan artefak, termasuk keramik Cina Dinasti Tang akhir dan Lima Dinasti, perhiasan, serta mata uang emas dan perak yang oleh sejumlah peneliti diidentifikasi berasal dari dunia Islam abad ke-10. Beberapa koin yang ditemukan memiliki karakteristik yang oleh ahli numismatik dikaitkan dengan periode Fatimiyah awal.
Penanggalan karbon dan analisis gaya artefak menunjukkan bahwa kapal itu kemungkinan tenggelam sekitar pertengahan hingga akhir abad ke-10 Masehi, bertepatan dengan masa ketika Fatimiyah mulai mengukuhkan dirinya sebagai kekuatan maritim dan perdagangan internasional.
Para arkeolog menilai kapal tersebut bukan kapal lokal Nusantara, melainkan kapal dagang besar dengan desain papan-lambung yang lazim digunakan dalam jaringan perdagangan Samudra Hindia. Hal ini menguatkan dugaan bahwa kapal tersebut beroperasi dalam rute jarak jauh yang menghubungkan Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara.
Jika benar kapal ini bagian dari jaringan dagang Fatimiyah atau pedagang Muslim di bawah pengaruhnya, maka temuan ini menunjukkan bahwa diplomasi Fatimiyah tidak hanya berjalan di Mediterania, tetapi juga menjalar melalui jalur ekonomi global hingga Nusantara.
Perdagangan pada masa Fatimiyah memang tidak terpisahkan dari diplomasi. Para pedagang sering berfungsi sebagai perpanjangan tangan kekhalifahan, membawa bukan hanya barang dagangan, tetapi juga simbol legitimasi politik, jaringan kepercayaan, dan pengaruh budaya Islam.
Nusantara pada abad ke-10 dikenal sebagai simpul penting perdagangan maritim dunia. Kehadiran kapal dengan muatan internasional di perairan Cirebon memperkuat pandangan bahwa wilayah ini telah terintegrasi dalam sistem perdagangan global yang melibatkan kekuatan besar, termasuk dunia Islam Fatimiyah.
Temuan ini juga memberi konteks baru bagi proses dakwah Islam di Indonesia. Pengaruh Islam tidak semata datang lewat dakwah formal, melalui Barus Titik Nol Islam di Nusantara, melainkan melalui interaksi dagang jangka panjang yang dimediasi oleh jaringan maritim seperti yang dibangun pada era Fatimiyah.
Meski para sejarawan mengaitkan kapal Cirebon secara langsung sebagai “kapal resmi Fatimiyah”, konsensus akademik mengakui bahwa artefak-artefaknya mencerminkan kuatnya pengaruh ekonomi dan budaya dunia Islam abad ke-10.
Dengan demikian, kapal karam di perairan Cirebon dapat dipandang sebagai bukti material bahwa diplomasi Fatimiyah memiliki dimensi ekonomi global. Dari Mediterania hingga Nusantara, pengaruh Fatimiyah menyebar bukan melalui penaklukan, melainkan melalui laut, perdagangan, dan jejaring internasional yang canggih untuk zamannya.




























Tidak ada komentar