Nasib Rohingya di Tengah Revolusi Myanmar
Sejarah panjang Rohingya di Myanmar selalu dipenuhi luka dan pengkhianatan. Saat negara dalam kondisi damai, komunitas Muslim minoritas ini justru kerap menjadi sasaran diskriminasi dari hampir semua pihak, baik pemerintah militer, pemerintahan sipil, maupun kelompok etnis bersenjata. Namun ironisnya, di tengah situasi darurat dan perlawanan terhadap junta saat ini, justru seorang Rohingya dipercaya menjadi menteri di pemerintahan oposisi.
Aung Kyaw Moe menjadi nama yang mencatat sejarah baru di Myanmar. Ia ditunjuk sebagai Menteri Urusan Minoritas di pemerintahan bayangan National Unity Government (NUG), sebuah langkah yang tak pernah terjadi sebelumnya dalam politik Myanmar modern. Padahal, di masa damai, komunitas Rohingya dipinggirkan, dilucuti kewarganegaraannya, dan dihalangi akses dasar kehidupan.
Sebelum kudeta militer 2021, pemerintahan Aung San Suu Kyi bahkan tidak memberikan status legal maupun pengakuan politik kepada Rohingya. Saat peristiwa pembersihan etnis 2017 yang mendorong lebih dari 700 ribu Rohingya ke Bangladesh, pemerintahannya menolak menyebut tragedi itu sebagai pelanggaran HAM berat. Kini, saat revolusi melawan junta berlangsung, seorang Rohingya justru diminta masuk kabinet oposisi.
National Unity Government saat ini beroperasi dari pengasingan. Sebagian besar anggotanya berada di wilayah perbatasan Myanmar-Thailand, kawasan Karen, dan markas diaspora di beberapa negara Asia Tenggara. Pertemuan kabinet dilakukan secara tersembunyi di zona-zona perbatasan yang dikuasai kelompok etnis bersenjata sekutu, serta secara daring dari luar negeri.
NUG berdiri atas sisa-sisa pemerintahan sipil yang digulingkan militer dan para aktivis pro-demokrasi. Dalam struktur kekuasaannya, NUG mencoba membangun aliansi dengan kelompok etnis bersenjata seperti Kachin Independence Army (KIA), Karen National Union (KNU), Chin Defense Force, dan sejumlah militia rakyat (PDF). Termasuk di antaranya menjalin komunikasi terbatas dengan Arakan Army.
Saat ini, peta kekuasaan Myanmar sangat terfragmentasi. Berdasarkan laporan organisasi pemantau konflik ACLED dan International Crisis Group per Mei 2025, sekitar 22 persen wilayah Myanmar dikuasai oleh junta militer secara efektif, terutama di pusat administrasi seperti Naypyidaw, Mandalay, dan sebagian Yangon.
Sementara itu, National Unity Government bersama militia PDF dan kelompok etnis sekutu menguasai sekitar 35 persen wilayah, mayoritas di daerah perbatasan timur, utara, dan barat. Beberapa kota kecil di kawasan Sagaing, Kachin, Chin, Karen, dan Kayah State berada di bawah kendali gabungan oposisi.
Sisanya sekitar 43 persen wilayah dikendalikan oleh kelompok etnis bersenjata lain dan pemerintahan proto-state seperti Arakan Army di Rakhine, KIA di Kachin, dan United Wa State Army (UWSA) di utara dekat perbatasan Tiongkok. Masing-masing membentuk administrasi, aparat keamanan, hingga mata uang lokal di beberapa wilayahnya.
Nasib Rohingya di tengah kondisi itu masih tak menentu. Di wilayah yang dikuasai junta, pembatasan ketat tetap diberlakukan, termasuk penahanan sewenang-wenang dan pelarangan akses kesehatan. Di kawasan perbatasan yang dikontrol milisi PDF atau etnis bersenjata, Rohingya dipandang ambigu — tak sepenuhnya diterima, namun kadang dibiarkan untuk alasan kemanusiaan.
Satu-satunya celah bagi Rohingya muncul saat NUG mencoba memoles citra sebagai pemerintahan inklusif. Penunjukan Aung Kyaw Moe tak hanya simbolis, tetapi juga bagian strategi merebut simpati komunitas internasional yang selama ini mengecam perlakuan Myanmar terhadap Rohingya.
Aung Kyaw Moe dikenal sebagai aktivis kemanusiaan sebelum bergabung dengan NUG. Ia pernah aktif di LSM dan lembaga advokasi pengungsi. Meski kini menyandang status menteri, pengaruhnya dalam menentukan kebijakan strategis masih terbatas, mengingat NUG masih dipimpin mayoritas eks-elit sipil era Suu Kyi.
Di level masyarakat, prasangka terhadap Rohingya masih mengakar. Banyak etnis mayoritas seperti Bamar, Karen, dan Shan yang skeptis terhadap integrasi Rohingya ke dalam struktur politik nasional. Mereka khawatir pengakuan politik akan membuka tuntutan otonomi hingga kemerdekaan baru.
Nasib Rohingya di masa depan Myanmar pasca-revolusi masih terombang-ambing. Jika junta tumbang dan NUG naik, peluang Rohingya mendapatkan kewarganegaraan dan hak politik terbuka, namun tidak tanpa perlawanan dari kelompok mayoritas dan etnis bersenjata lain.
Situasi bisa menjadi lebih buruk jika revolusi gagal, atau justru terjadi fragmentasi kekuasaan di Myanmar, di mana masing-masing proto-state menetapkan aturan sendiri. Dalam skenario ini, Rohingya bisa kembali jadi korban pengusiran atau bahkan persekusi sistematis di bawah rezim lokal.
Di wilayah Rakhine, Arakan Army yang kini berkuasa juga belum sepenuhnya menerima Rohingya sebagai bagian sah komunitas Arakan. Meski mereka sempat membentuk komite Muslim dalam administrasi lokal, hubungan itu lebih bersifat taktis ketimbang ideologis.
Bagi Rohingya, revolusi Myanmar bukan sekadar soal demokrasi, tetapi tentang peluang menyelamatkan keberadaan komunitas mereka yang terancam punah secara politik dan sosial. Apakah NUG bersedia benar-benar memperjuangkan hak mereka atau sekadar memanfaatkan sebagai alat diplomasi, masih jadi pertanyaan besar.
Di tengah peta kekuasaan Myanmar yang terbelah, nasib Rohingya tetap berada di wilayah abu-abu. Mereka terpaksa menggantungkan harapan pada pemerintahan pengasingan yang dulu pernah menolak mereka, dan kelompok bersenjata yang sewaktu-waktu bisa menjadikan mereka kambing hitam politik.
Tidak ada komentar