Header Ads

  • Breaking News

    Selamat, Harlah Nahdlatul Ulama Satu Abad

    Satu Abad Nahdhatul ulama atau NU dan Perannya dalam Pengabdian untuk Ummat di Tanah Batak

    Baru-baru ini umat Islam di Indonesia merayakan Puncak peringatan satu abad Nahdlatul Ulama (NU) jatuh pada hari Selasa tanggal 7 bulan februari 2023 di Stadion Gelora Delta Sidoharjo, Jawa Timur.

    Harlah 1 Abad NU adalah hari lahir atau berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama (NU), yang terhitung dalam kalender hijriah, yakni 16 Rajab 1354 H.

    Bagi masyarakat Batak khususnya di Tapanuli Utara dan pemekarannya Kabupaten Humbang Hasundutan, Toba dan Samosir, N.U. merupakan lembaga nasional yang memberikan perhatian yang banyak terutama dengan keberadaan tokoh Batak  Syeikh Ali Akbar Marbun di jajaran pengurus P.B.N.U.

    Syeikh Ali Akbar marbun merupakan tokoh Humbang Hasundutan yang pernah menimba ilmu di Mekkah dan Pesantren Musthofawiyah Purba Baru dan pengasuh Pesantren Al Kautsar Al Akbar di Medan dan Lae Toras, Humbang Hasundutan.

    Meski pada awal era Kebangkitan Nasional sekitar tahun 1908, masyarakat Batak masih mengalami trauma dengan tewasnya Sisingamangaraja XII setahun sebelumnya di Parlilitan.

    Kondisi saat itu tidak langsung reda karena para panglimanya seperti Raja Koser Maha di Dairi bergelar Pa Mahur masih terus berjuang melawan Belanda dengan pasukan Selimin-nya di Dairi yang berasal dari kata Muslimin.

    Operasi militer Belanda khususnya di Tanah Gayo dan Alas di Aceh dan Bataklanden di Sumatera Utara didokumentasikan oleh J.C.J. Kempes di dalam bukunya
    De tocht van overste van Daalen door de Gajo-, Alas- en Bataklanden.

    Di Jawa sendiri politik juga tidak lebih baik dengan berdirinya Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) akibat persekusi oleh penjajah.

    Sehingga saat N.U. berdiri gemanya belum langsung terasa di Tanah Batak yang saat itu masih konsolidasi pembangunan kembali masyarakat dengan bantuan ulama mandailing dari Purba Baru, Maktab Islamiyah Tapanuli, Syarikat Islam, Muhammadiyah, Al Washliyah dan ulama parsulukan dari Deli, Asahan, Barus, Sorkam, Sibolga, Singkil serta Aceh di tengah gempuran para misionaris Jerman.

    Sisingamangaraja XII sendiri dan dua anaknya belajar di pesantren Aceh atau Dayah Tinggi Pante Geulima Meureudu di bawah bimbingan Teungku Syekh Haji Ismail dengan gelar Teungku Chik Pante Geulima.

    Banyak masyarakat Batak saat itu dan sebelumnya, masih yakin akan adanya pembalasan dari Raja Rum dari Istanbul kepada Belanda yang merujuk pada Ottoman Turki atau Utsmaniyah terlihat dari dialog musafir Italia Modigliani dengan Guru Somalaing Pardede.

    Sisingamangaraja XII bersama sejumlah kerajaan Sinambelas atau Si-16 yang berada dalam pengaruh Aceh masih menunggu balasan Surat Paduka Seri Sultan Aceh 'Alauddin Manshur Syah Johan Berdaulat Dhilullah fil 'alam ditujukan kepada Sultan 'Abdul Majid Khan, khalifah Turki Usmani di Istanbul pada 1850.

    Surat itu berisi permintaan izin Aceh dan sekutunya untuk menyerang Batavia karena kebijakan Belanda yang dinilai mempersekusi umat Islam di Jawa dan Nusantara termasuk memenjarakan ulama, mempersulit haji dan lain sebagainya.

    Surat itu kini telah diterbitkan kembali oleh Dr Annabel Gallop dan dipublikasikan kembali oleh Masyarakat Pecinta Sejarah Aceh (MAPESA).

    Sayangnya, Ottoman Turki bersama Jerman dan Central Power lainnya mengalami kekalahan pada 1914-1918 yang dikenal dengan Perang Dunia I. Disusul dengan lepasnya Jazirah Arab, Palestina, Irak dan berakhir dengan pelengseran Sultan dan kelahiran negara Turki moderen.

    Namun pada era penjajahan Jepang, tokoh Batak mulai muncul di peta politik N.U. dengan munculnya KH Zainul Arifin Pohan di Laskar Hisbullah. Dia merupakan pangeran dari Kesultanan Barus di Tapanuli Tengah dan belakangan menjabat wakil perdana menteri ri.

    Barus sendiri telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai Titik Nol Islam dan mengunjungi makam kuno di Papan Tinggi dan para aulia lainnya.

    Keberadaan artefak dan makam Islam juga menyebar di tanah Batak dan belakangan yang ditemukan termasuk di Lae Meang, Pakpak Bharat, Makam tuan Lobe di Simalungun dan lain sebagainya. Penemuan koin Abbasiyah dan fakta sejarah pelaut Arab Akasyah bin Muhsin al-Usdi, Muhammad Al Idrisi sampai Ibnu Batuta memperkuat hubungan tanah Batak dan Sumatera pada umumnya kepada Islam.

    Nama N.U. semakin terdengar saat Syeikh Musthafa Husein Nasution dari Purba Baru mendirikan N.U. di Mandailing awal tahun kemerdekaan dan menyebar ke seluruh sumatera utara. 

    Jadi walau N.U. baru eksis secara organisasi di Sumatera Utara, namun para pengurusnya telah lama terlibat dalam pembangunan masyarakat Batak khususnya ulama Mandailing dan Medan khususnya yang satu generasi dengan pendiri nahdlatul ulama di Jawa.

    Tidak heran infrastruktur N.U. di pendidikan Islam tanah Batak relatif lebih baru dibandingkan H.K.B.P. yang mewarisi lembaga pendidikan Kristen yang mapan milik misionaris Jerman Rheinische Missiongeselshacft (RMG) yang pendetanya banyak dipenjarakan Belanda karena keterlibatan Nazi di Perang Dunia II.

    Walau begitu dengan keteguhan yang kuat, kini perlahan N.U. telah hadir di setiap daerah di Humbang Hansundutan, Toba, Samosir, Tapanuli Utara, Dairi dan Karo dalam bentuk P.C.N.U di bawah P.W.N.U.

    Pendirian kembali Universitas Nahdlatul Ulama Sumatera Utara di Medan dan Tapanuli Selatan sangat membantu ummat dan diharapkan dengan pendirian rumah sakit N.U. di pelosok tanah batak termasuk infrastruktur lainnya seperti N.U. ker dan Lazisnu.

    Selamat merayakan Satu Abad pengabdian Nahdlatul Ulama di N.K.R.I.

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad